Kejarlah Ilmu yang Bermanfaat
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujaadilah:11)
Sebagai seorang hamba Allah yang memiliki iman dan sadar akan kewajibannya di dunia ini tentulah Kita menginginkan untuk selalu menuntut dan menambah ilmu pengetahuan. Namun ilmu Allah yang tersebar di jagat raya ini sungguh teramat luas. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu menguasai ilmu Allah. Bahkan jikalau seluruh makhluk ciptaan Allah bersatu untuk memahami ilmu Allah mereka tidak akan mampu… Karena sebagai manusia, usia kita sangat terbatas maka perlu memilih dan memilah untuk meraih ilmu-ilmu yang baik dan benar-benar berguna bagi diri sendiri maupun orang lain… Kita berharap agar memperoleh ilmu yang benar-benar efektif, berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan hidup di Dunia dan di Akhirat. Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam pernah memohon dalam doanya, “Allaahumma inni a’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’u”. ‘Ya, Allah, aku berlindung kepada -Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.’
Mengapa Harus Ilmu Yang Bermanfaat?
Sekarang ini, di sekitar kita banyak sekali informasi dan berita yang tidak bernilai bagaikan sampah. Berbagai informasi seperti itu bisa dengan mudah didapat dari televisi, koran, majalah atau media online. Bahkan sekarang ini info melalaui laptop dan telpon genggam Kita… Banyak sekali gossip, berita bohong (hoax), kisah-kisah seputar artis; pemain sinetron, pemain bola dan sebagainya nyaris tidak ada manfaatnya bagi kehidupan kita. Informasi ini bukan hanya melalaikan, namun dapat saja menyesatkan atau mendorong kita berpikir negatif atau pesimis sehingga kehilangan gairah mencari dan menegakkan kebenaran… Banyak pula yang tanpa sadar menjadi pendukung parah ahli maksiat dan menolak kebenaran ajaran Islam dengan berbagai alasan. Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam mengajarkan doa di atas supaya kita terhindar dari memperoleh ilmu yang tidak memberikan kemanfaatan bagi diri kita.
Alangkah pentingnya ilmu yang bermanfaat dalam hidup ini. Ilmu yang bermanfaat adalah yang digunakan untuk beramal dalam rangka mendekatkan diri atau beribadah kepada Allah, baik secara langsung atau tidak langsung. Jika belum dapat diamalkan setidaknya ilmu tersebut diajarkan kepada manusia agar kehidupan Sang Pengajar menjadi bernilai meskipun dia telah meninggalkan dunia. Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Jika seseorang telah wafat, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; sedekah yang pahalanya terus mengalir, ilmu yang dimanfaatkan (diamalkan dan diajarkan) , dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi wahyu kepada Nabi Dawud Alaihis Salaam. Firman-Nya, “Wahai, Dawud. Pelajarilah olehmu ilmu yang bermanfaat”. “Ya Rabbi.. apakah ilmu yang bermanfaat itu ? “ tanya Nabi Dawud. Allah menjawab, “Itulah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui keluhuran, keagungan, kebesaran ,dan kesempurnaan kekuasaan-Ku atas segala sesuatu. Inilah yang mendekatkan engkau kepada-Ku.”
Dalam Islam, menuntut ilmu yang bermanfaat itu merupakan fardhu ain (kewajiban per individu) seperti halnya mendirik shalat lima waktu. Dalam menuntut ilmu ini semua orang terkena kewajiban untuk memperajarinya; lelaki atau perempuan, tua atau muda, kaya atau miskin, raja atau rakyat jelata tanpa kecuali – sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam “Tholabul ‘ilmi fariidhotun ‘alaa kulli muslim.” “Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang Muslim.” (Riwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah, hadits hasan).
Alquran berulangkali menanamkan kesadaran kepada para pembacanya yaitu orang-orang beriman terhadap tingginya nilai ilmu pengetahuan dalam kehidupan ini. Firman Allah Azza wa Jalla, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujaadilah:11)
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabat Beliau Radhiyallahu anhum sangat menghargai ilmu dan orang-orang yang mengajarkan ilmu. Nabi sendiri seorang pendidik yang setiap sahabat Beliau adalah murid-murid yang belajar tentang hidup dan kehidupan kepada Beliau secara langsung. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ar Rabi-i’,Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu. Sesungguhnya, menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla, sedangkan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya didunia dan akhirat.”
Tentang kewajiban menuntut ilmu yang bermanfaat ini, seorang ulama – Ibnu Qudamah -menjelaskan,
Jika seorang anak sudah beranjak besar, maka pertama-tama yang harus dia pelajari adalah dua kalimah syahadat dan memahami maknanya, sekalipun pemahaman ini tidak harus dengan penela’ahan dan penyertaan dalil. Sebab Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam hanya meminta pembenaran dari orang-orang Arab yang bodoh, tanpa menuntut mereka untuk mempelajari dalil. Tapi yang pasti hal ini hanya dikaitkan dengan waktu alias temporal. Setelah itu dia tetap dituntut untuk menela’ah dan mengetahui dalil-dalilnya.
Jika sudah tiba waktunya untuk mendirikan shalat, maka dia harus mempelajari cara bersuci dan shalat (fiqhut taharoh was sholah) . Jika tiba bulan Ramadhan, dia harus mempelajari puasa (fiqhus siyam). Jika dia mempunyai harta benda dan waktunya sudah mencapai satu tahun, maka dia harus mempelajari zakat (fiqhuz zakat). Jika tiba musim haji dan memungkinkan baginya untuk pergi haji, maka dia harus mempelajari manasik haji dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan haji.
Tentang hal-hal yang harus ditinggalkan, maka tergantung kondisinya. Sebab tidak mungkin orang yang buta bisa mempelajari apa yang tidak dia lihat, dan orang bisu tidak mungkin bisa mengucapkan apa yang memang tidak bisa ia ucapkan. Jika di suatu negara ada kebiasaan minum khamr dan mengenakan pakaian sutera (atau sekarang pakaian wanita super ketat, mini, pamer aurat) maka dia wajib mengetahui pengharaman dua hal itu.
Tentang keyakinan, maka harus diketahui dan dipelajari berdasarkan sentuhan rasa. Jika terbetik suatu perasaan yang meragukan makna-makna yang ditunjukkan dua kalimat syahadat, maka dia harus mengetahui apa yang membuatnya bisa mengusir keragu-raguan itu. Jika dia berada di suatu negeri yang banyak bid’ahnya, maka dia harus mencari mana yang haq, sebagaimana seorang pedagang yang di sekitarnya memasyarakat praktek riba, maka dia harus mempelajari bagaimana cara mewaspadai riba itu.
Anak itu juga harus mempelajari iman kepada hari berbangkit (qiyamat), surga dan neraka.
Dari keterangan Ibnu Qudamah jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ilmu yang wajib (fardhu ‘ain) adalah ilmu yang memang berkait dengan diri kita sendiri yaitu tentang keyakinan, perbuatan -yang diperintahkan Allah, dan keharaman yang harus ditinggalkan. Sedangkan yang termasuk fardhu kifayah adalah setiap ilmu yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup di dunia, seperti: matematika, kimia, fisika, Ilmu kedokteran, ilmu pertanian, perdagangan, manajemen, kenegaraan, ilmu bahasa dan lain-lain. Sebab ilmu ini sangat penting dan diperlukan untuk menjaga kesehatan badan manusia atau pun keberlangsungan hidup bermasyarakat. Jika penduduk suatu negeri tidak ada yang mempelajari dan menguasai ilmu semacam ini, maka mereka semua adalah orang-orang yang berdosa. Tapi jika sudah ada seseorang atau dua orang yang menguasainya, maka kewajiban menjadi gugur bagi yang lain.
Jika sudah tiba waktunya untuk mendirikan shalat, maka dia harus mempelajari cara bersuci dan shalat (fiqhut taharoh was sholah) . Jika tiba bulan Ramadhan, dia harus mempelajari puasa (fiqhus siyam). Jika dia mempunyai harta benda dan waktunya sudah mencapai satu tahun, maka dia harus mempelajari zakat (fiqhuz zakat). Jika tiba musim haji dan memungkinkan baginya untuk pergi haji, maka dia harus mempelajari manasik haji dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan haji.
Tentang hal-hal yang harus ditinggalkan, maka tergantung kondisinya. Sebab tidak mungkin orang yang buta bisa mempelajari apa yang tidak dia lihat, dan orang bisu tidak mungkin bisa mengucapkan apa yang memang tidak bisa ia ucapkan. Jika di suatu negara ada kebiasaan minum khamr dan mengenakan pakaian sutera (atau sekarang pakaian wanita super ketat, mini, pamer aurat) maka dia wajib mengetahui pengharaman dua hal itu.
Tentang keyakinan, maka harus diketahui dan dipelajari berdasarkan sentuhan rasa. Jika terbetik suatu perasaan yang meragukan makna-makna yang ditunjukkan dua kalimat syahadat, maka dia harus mengetahui apa yang membuatnya bisa mengusir keragu-raguan itu. Jika dia berada di suatu negeri yang banyak bid’ahnya, maka dia harus mencari mana yang haq, sebagaimana seorang pedagang yang di sekitarnya memasyarakat praktek riba, maka dia harus mempelajari bagaimana cara mewaspadai riba itu.
Anak itu juga harus mempelajari iman kepada hari berbangkit (qiyamat), surga dan neraka.
Dari keterangan Ibnu Qudamah jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ilmu yang wajib (fardhu ‘ain) adalah ilmu yang memang berkait dengan diri kita sendiri yaitu tentang keyakinan, perbuatan -yang diperintahkan Allah, dan keharaman yang harus ditinggalkan. Sedangkan yang termasuk fardhu kifayah adalah setiap ilmu yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup di dunia, seperti: matematika, kimia, fisika, Ilmu kedokteran, ilmu pertanian, perdagangan, manajemen, kenegaraan, ilmu bahasa dan lain-lain. Sebab ilmu ini sangat penting dan diperlukan untuk menjaga kesehatan badan manusia atau pun keberlangsungan hidup bermasyarakat. Jika penduduk suatu negeri tidak ada yang mempelajari dan menguasai ilmu semacam ini, maka mereka semua adalah orang-orang yang berdosa. Tapi jika sudah ada seseorang atau dua orang yang menguasainya, maka kewajiban menjadi gugur bagi yang lain.
Ilmu agama (aqidah, syari’at, dan akhlak) adalah sumber kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Tentang keistimewaan ilmu agama sebagai pedoman hidup manusia Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu dengan belajar (HR. Bukhori).
Ada banyak ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat secara umum. Kewajiban menuntut ilmu ini bersifat fardhu kifayah. Seorang ahli Ilmu pengetahuan dari Barat – Herbert Spencer dalam tulisannya tentang pendidikan menerangkan sebagai berikut: “Pengetahuan itu berlawanan dengan khurafat, tetapi tidak berlawanan dengan agama. Dalam kebanyakan ilmu alam terdapat paham tidak bertuhan (atheisme), tetapi pengetahuan yang sehat dan mendalami kenyataan, bebas dari paham yang demikian itu. Ilmu alam tidak bertentangan dengan agama. Mempelajari ilmu itu merupakan ibadat secara diam, dan pengakuan yang membisu tentang keindahan sesuatu yang kita selidiki dan kita pelajari, dan selanjutnya pengakuan tentang kekuasaan yang Penciptanya. Mempelajari ilmu alam itu tasbih (memuji Tuhan) tapi bukan berupa ucapan, melainkan tasbih berupa amal dan menolong bekerja. Pengetahuan ini bukan mengatakan mustahil akan memperoleh sebab yang pertama, yaitu Allah”.
“Seorang ahli pengetahuan yang melihat setitik air, lalu dia mengetahuinya bahwa air itu tersusun dari oksigen dan hidrogen, dengan perbandingan tertentu, dan kalau sekiranya perbandingan itu berubah, niscaya air itu akan berubah pula menjadi sesuatu yang bukan air. Maka dengan itu ia akan meyakini kebesaran Pencipta, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya orang yang bukan ahli dalam ilmu alam, akan melihatnya tidak lebih dari setitik air”.
Segala sesuatu yang berada dalam alam semesta, adalah merupakan ciptaan (makhluk) Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebegai refleksi dan manifestasi dari wujud Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Karena itu manusia tidak habis-habisnya mengagumi isi alam semesta (al kaun) ini terus mengambil ilmu pengetahuan, pelajaran dan ibroh yang bermanfaat dari padanya. Firman Allah, “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihtaanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah” (Al Mulk: 3-4)
Tegaknya langit, keseimbangan benda-benda langit sesuai dengan ciptaan dan pengaturan dari Allah Sang Maha Pencipta. “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)” (Ar Rahman:7)
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (Faathir:41)
Ayat di atas menyatakan adanya semacam penahan yang membawa kepada ketenangan benda-benda langit, meskipun benda-benda langit itu saling bergerak. Hal ini menunjukkan kenyataan kebenarannya terhadap umat manusia.
Para ahli fisika sudah cukup lama mengenal gaya gravitasi antara benda-benda bermassa yang bekerja secara luas dalam alam ini. setelah Issac Newton pada tahun 1686 merumuskan hukum gravitasi, maka orang dapat dengan mudah memahami dan menerangkan berbagai peristiwa dalam jagad raya ini. Hukum-hukum Kepler yang sudah ada sebelum Newton, ternyata dapat dipahamkan sebagai akibat saja dari hukum gravitasi Newton tersebut.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa universum itu berjalan dengan eksak, kokoh, teratur, rapi dan harmonis, yang tidak akan ada habis-habisnya menjadi tantangan yang menakjubkan bagi manusia. Setelah beriman kepada Allah, maka menjadi mudah bagi kita untuk menerima, bahwa hukum-hukum itu adalah sunatullah atau aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah bagi makhluk-Nya yang tidak berubah-ubah. “Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nati-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan menemui perubahan bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (Faathir: 43)
Demikianlah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menciptakan segala sesuatu dengan sempurna, seimbang, beraturan, sistemik. Maka Dia jualah yang paling tahu hakikat dan tujuan penciptaan-Nya, dan telah dikabarkannya ciptaan Allah itu kepada manusia. Manusia telah diperintahkan untuk bertafakur atas ciptaan-Nya, sehingga mampu memanfaatkannya. Dan agar manusia mampu mengenal pencipta-Nya serta mengagungkan-Nya; Dia lah Allah tiada Tuhan selain-Nya. Dengan ilmu-Nya Allah mengajarkan kepada hamba-Nya apa-apa yang telah diciptakan dengan proses terjadinya, sehingga manusia akan menjadi tahu dan berilmu. Setelah itu akan lahir cabang-cabang ilmu pengetahuan yang menyebar ke setiap penjuru ufuk kehidupan manusia. Dengan ilmunya manusia diharapkan menemukan kebenaran dan menjadikannya sebagai landasan kehidupan.
“Kami akan memperlihatkan kapada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushshilat: 53)
Bahaya Beragama Tanpa Ilmu
Setiap orang harus mengetahui kewajiban-kewajibannya, maka menuntut ilmu tentang kewajiban hukumnya adalah fardhu ‘ain. Sebab, tanpa mengetahui ilmunya, maka tidak akan bisa melaksanakan kewajibannya dengan benar. Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Sesungguhnya amal yang dikerjakan dengan ikhlas tetapi tidak benar itu tidak akan diterima, begitu juga jika amal itu benar namun tidak ikhlas (juga tidak diterima). Ikhlas hendaklah amal itu hanya untuk Allah, dan benar hendaklah tegak berdasarkan sunnah. Amal yang tidak sesuai dengan sunnah, baik itu karena penyelewengan maupun karena kebodohan, maka tidak diterima. Sebab Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalnya itu tertolak.” (HR Muslim).
Orang yang mengamalkan Islam tanpa ilmu dan orang yang berilmu agama tetapi menyeleweng adalah dua golongan yang sangat merepotkan. Sulit diaturnya, dan menjadikan lelahnya orang yang mau meluruskannya. Sampai-sampai Ali bin Abi Thalib berkata: Patahlah punggungku gara-gara dua orang, yaitu orang berilmu yang menyeleweng dan orang bodoh yang rajin ibadah.
Pernyataan yang hampir sama dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah: “Kebodohan dan kezhaliman adalah pangkal dari segala keburukan.” Kebodohan itu saja sudah merupakan pangkal keburukan, apalagi justru kebanyakan manusia itu bodoh dalam hal agama. Maka benarlah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mengecam manusia yang melalaikan ilmu tentang Akhirat: “Janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janjiNya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti, mereka (hanya) mengetahui secara lahir (saja) dari kehidupan dunia, mereka lalai terhadap akherat.” (QS Ar-Ruum: 6-7).
Imam Ibnu Katsir dalam menafsiri ayat yang ketujuh Surat Ar-Ruum ini mengatakan: “Maksudnya kebanyakan manusia seakan tidak punya ilmu kecuali ilmu dunia dengan segala ragamnya. Dalam masalah ini mereka cerdik cendekia (istilahnya piawai), tetapi mereka lalai (bodoh) terhadap perkara-perkara dien dan hal-hal yang bermanfa’at bagi mereka di akherat. Mereka dalam hal agama dan akhirat ini bagai orang dungu yang tak punya nalar dan akal pikiran.”
Jahilnya seseorang terhadap ilmu agama bisa menjerumuskan banyak orang ke dalam kesesatan (bid’ah) bahkan kemusyrikan. Dalam hadits dijelaskan, ketika Adi bin Hatim menghadap Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam, di lehernya tergantung salib dari perak, lalu Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam membacakan ayat Alquran : “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah.” (QS At-Taubah: 31). Maka jawab Adi bin Hatim: “Sesungguhnya mereka tidak menyembahnya!” Sabda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam : “Benar, tetapi sesungguhnya mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib) mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram, lalu mereka mengikuti, itulah ibadah kepada mereka.” (HR Al-Tirmidzi).
Dalam kisah itu, karena kebodohannya tentang agama, maka terjerumus kepada hal yang menyekutukan Allah. Oleh karena itu, menuntut ilmu agama itu adalah meniti jalan ke Syurga, sebab menghindari dari jalan yang menuju kesesatan, baik itu bid’ah, khurofat, takhayyul, maupun sampai pada kemusyrikan menyekutukan Allah. Dan hal itu ditegaskan oleh Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam : “Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke Syurga.” (HR Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Lebih jelas lagi bahwa mengetahui atau memahami ilmu agama itu sangat penting untuk terhindar dari kesesatan, bid’ah, khurofat, takhayyul dan syirik adalah sabda Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam : “Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah fahamkan dia dalam ilmu agama.” (HR Al-Bukhari).
Kebaikan di situ berarti lawan dari keburukan. Sedang keburukan yang merusak agama di antaranya adalah kesesatan-kesesatan. Dan kesesatan itulah yang diberantas oleh ilmu dien, karena ilmu agama adalah warisan para nabi. Sehingga para pemilik ilmu dien, yaitu ulama adalah pewaris para Nabi. Keutaman ulama itu dijelaskan oleh Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam : “Keutamaan seorang alim (berilmu agama) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu (agama), maka barangsiapa mengambilnya (yaitu mengambil warisan ilmu agama) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (HR At-Tirmidzi).
Sebaliknya, kalau manusia sudah mengangkat orang-orang jahil (bodoh) sebagai pemimpinnya, maka yang terjadi adalah sesat menyesatkan. Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam menjelaskan: “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari hamba-hamba, tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan mencabut (mewafatkan) para ulama, sehingga tidak ada lagi seorang alim pun. Maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka itu lalu dimintai fatwa, maka mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR Al-Bukhari).
Betapa jauh bedanya antara yang berilmu dan yang tidak. Antara yang menyesatkan dan yang menunjukkan kebenaran. Ada kisah dalam Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana dimuat dalam Kitab Riyadhus Sholihin, bab taubat, ada seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Dia bunuh seorang rahib (pendeta) ahli ibadah sebagai korban yang ke-100 karena jawaban bodoh dari si ahli ibadah itu yang menjawab bahwa sudah tidak ada lagi pintu taubat bagi pembunuh 99 nyawa manusia. Akhirnya setelah membunuh si ahli ibadah yang menjawab dengan bodoh itu, maka si pembunuh pergi ke seorang alim, dan di sana ia ditunjukkan jalan untuk bertaubat, maka diapun mendapatkan penerangan bagi jalan hidupnya.
Post A Comment:
0 comments: